Judul Buku : Tahta Untuk Rakyat Celah-celah Kehidupan
Sultan Hamengku Buwana IX
Editor : Atmakusumah
Penerbit : PT Gramedia Jakarta
G.R.M Dorojatun dalam usia 4 tahun di in de kost kan pada
keluarga Mulder seorang Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens
School seperti saudara-saudaranya yang lain, secara terpisah sebagai
kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII semenjak beliau masih sebagai
putra mahkota. Putra-putranya agar dididik sebagai orang biasa saja, tidak usah
diistimewakan sebagai seorang bangsawan. Hendaknya anak-anak itu menyerap hidup
sederhana dan penuh disiplin, sebagaimana yang ada dalam kalangan orang-orang
Belanda. Sri Sultan HB VIII telah melihat jauh kedepan, bahwa menyanjung atau
memanjakan sebagaimana bangsawan lainnya yang diterapkan sangat tidak baik bagi
pendidikan putra-putranya, tetapi beliau menghendaki yang keras bahkan sedi8kit
spartaans. Putra-putranya harus hidup diluar Kraton, pendidikan yang jauh dari
ibunya justru diharapkan anaj-anaka tersebut tidak menjadi manja dan dapat mandiri.
Pesan Sri Sultan HB VIII kepada G.R.M. Dorojatun sebelum
berangkat ke Negeri Belanda akan menjadi bekal utama dalam menghadapi Belanda,
pesan tersebut berbunyi:
“Selama di Negeri Belanda bukalah pintu hatimu
seluas-luasnya. Perupayalah agar kau benar-benar menyelami sifat-sifat orang
Belanda, karena dimasa depan kau akan selalu berurusan dengan mereka. Jangan
kamu kepencut (tertarik hatimu) atau malahan menikah dengan noni-noni Belanda.”
Sebelum berangkat ke negeri Belanda, G.R.M. Dorojatun
bersama-sama B.R.M. Tinggarto di A.M.S. anehnya kedua-duanya di in the kost kan
pada seorang anggota militer yang bernama Let. Kol. De Boer, ini berarti Sri
Sultan HB VIII lebih mengetatkan pendidikan pada putra-putranya yang sudah
dewasa agar lebih disiplin lagi. Pada bulan Maret 1930 G.R.M. Dorojatun
bersama-sama B.R.M. Tinggarto didampingi keluarga Hofland berangkat menuju
Negeri Belanda. Disana masuk sekolah Gymnasium di Haarlem dan selesai pada
tahun 1934, kemudian G.R.M Dorojantun melanjutkan di Rijkuversiteit di Leiden
pada Faculteit Indologi.
G.R.M. Dorojatun bersama saudara-saudaranya sekolah di
Belanda sampai tahun 1939 dimana Jerman sudah menyerang Polandia, yang berarti
Perang Dunia II sudah dimulai. Timbul kekhawatiran dari Sri Sultan HB VIII,
Jerman juga akan menyerang Belanda, maka segera Sri Sultan HB VIII
memerintahkan agar putra-putranya pulang.
Sri Sultan HB VIII pada suatu saat sakit keras sampai
tidak sadarkan diri dan dirawat oleh B.R.Ay Tejoretno dan berhasil sadar
kembali kemudian Sri Sultan HB VIII mengatakan bahwa beliau minta kepada Allah
SWT agar usianya diperpanjang sampai dengan G.R.M. Dorojatun pulang (Dalam
Bahasa Jawa kata-katanya adalah: “Aku nyuwon onjot tekan nekwis Jatun teka”)
Kelihatannya Sri Sultan HB VIII Sultan sudah tahu bahwa saatnya sudah sangat
dekat untuk segera menyerahkan tahtanya kepada G.R.M. Dorojatun.
Sesudah mendapat telegram dari Sri Sultan HB VIII nahwa
para putra-putra ini harus pulang segera, kebetulan tiket kapal api sudah
habis, akan tetapi ada seseorang Belanda yang baik hati dan tahu bahwa G.R.M.
Dorojatun sangat ditunggu ayahnya, maka orang tersebut rela menyerahkan tiket
itu kepada G.R.M. Dorojatun, sehingga bisda berangkat pulang mendahului para
saudara-saudaranya, pada bulan September 1939.
Pada tanggal 13 Oktober 1939 Sri Sultan HB VIII beserta
adik-adik beliau yang berkedudukan sebagai ajudan berangkat ke Batavia
(Jakarta) bermaksud menjemput G.R.M. Dorojatun dan menginap di Hotel Des Indes.
Sri Sultan HB VIII memerintahkan bahwa nanti begitu G.R.M. Dorojatun turun dari
kapal di pelabuhan Tanjung Priok maka yang lebih tua dari G.R.M. Dorojatun agar
besalaman dan yang lebih muda dari G.R.M. Dorojatun agar melakukan sembah dan
berbahasa karma dalam berkomunikasi.
Pada tanggal 18 Oktober 1939 B.R.M. Dorojatun mendarat di
Pelabuhan Tanjung Priok disambut sesuai rencana dan langsung menuju Hotel Des
Indes.
Sebelum memenuhi undangan Gubernur Jenderal, G.R.M.
Dorojatun sewaktu berbusana Mataraman, dibusanani oleh Sri Sultan HB VIII,
sesudah selesai G.R.M. Dorojatun dalam hatinya bertanya masih ada kekurangan
dalan busananya, yaitu belum memakai keris. Sesaat kemudian G.R.M. Dorojatun
dipanggil Sri Sultan HB VIII di kamarnya, dengan posisi membelakangi Sri Sultan
dan langsung menerapkan Pusaka Keris Kanjeng Kyai Jokopiturun pada panggung
G.R.M. Dorojatun, dengan tanpa sepatah katapun dari Sultan. Peristiwa ini
sebenarnya bisa dibaca bahwa penetapan
sebagai Putra Mahkota telah terjadi, karena Kanjeng Kyai Joko Piyurun merupakan
tanda bahwa pemakainya adalah Putra Mahkota. Kejadian tersebut disaksikan oleh
2 orang paman dari G.R.I. Dorojatun dan 4 orang adiknya.
Sri Sultan HB VIII walaupun dalam keadaan tidak sehat
memerintahkan hari tanggal 21 Oktober 1939 pulang ke Yogyakarta/ Dengan kerata
api siang rombongan Sri Sultan HB VIII menuju Yogyakarta, ditengah perjalanan
karena merasa sakitnya semakin parah, maka beliau minta ganti pakaian Jawa,
sesudah stasiun Purwokerto, Sultan sudah tidak sadarkan diri, oleh para putra
Sultan berita segera dikirim ke Gubernur Pepatih Dalem dan dr. Westekamp.
Pemeriksaan oleh dr. Westerkamp baru dilaksanakan di stasiun Wates. Sampai di stasiun Tugu, Sri Sultan HB VIII
langsung dibawa ke Rumah Sakit Onder de Bogen (Panti Rapih), dan pada 22
Oktober 1939 jam 4.48 pagi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat, dan 24
Oktober 1939 dimakamkan.
Gubernur Lucian Adam mengambil oper kekuasaan Kraton, sambil menunggu
diangkatnya Sultan yang baru. Gubernur mengangkat panitia yang ditugaskan
mengurus Pemerintahan Kraton, sambil menunggu diangkatnya Sultan yang baru.
Panitia teridiri dari 5 orang yaitu:
1.
G.R.M. Dorojatun sebagi ketua
2.
G.P.H. Mangkukusumo (putra dari Sultan HB VII, dan kakak
dari Sultan HB VIII)
3.
G.P.H. Tejokusumo (Adik dari G.P.H. Mangkukusumo)
4.
G.P. Hangabehi (Kakak dari G.R.M. Dorojatun lain ibu)
5. B.P.H. Puruboyo (Kakak dari G.R.M. Dorojatun lain ibu)
Sebelum G.R.M. Dorojatun berhadapan dengan Pemerintah
Belanda dalam rangka pengangkatan Sultan yang baru, maka G.R.M. Dorojatun
secara langsung mengumpulkan kerabat kraton terutama para putra Sultan HB VII
dan HB VIII, menanyakan kepada mereka siapa diantara mereka yang mempunyai
keinginan untuk menjadi Sultan Hamengku Buwana IX. Ternyata secara spontan para
kerabat tersebut tidak ada satupun yang menginginkan menjadi Sultan HB lX,
semuanya mendukung G.R.M. Dorojatun secara kompak. Sesudah para kerabat kompak
maka G.R.M. Dorojatun dapat lebih konsentrasi menghadapi Pemerintah Hindia
Belanda.
Atas nama PemerintahH indiaB elandad alam hal ini adalah
Gubernur Lucien Adam yang sudah sangat berpengalaman, usianya 2 kaliu sia
G.R.M. Dorojatun kurang lebih 5 sampai 6 tahun. Perundingan untuk mempersiapkan
Politik Kontrak berjalan seret dan alot, Gub. L. Adam hamper kehilangan
kesabarannya, apalagi dia sudah didesak oleh atasannya di Batavia, sehingga
suatu kali dia berucap: "Sayang sekali Baginda HB Vlll sudah tak ada
lagi" (Mungkin ia berpikir, andaikata HB Vlll masih ada tentu ia dapat
mempengaruhi calon Raja yang keras kepala ini), maka Jawaban G.R.M. Dorojatun
atas kata-kata Gub. Adam tersebut: "Ternyata sampai saat ini anda
sebenarnya tidak tahu bagaimana ayah saya itu." Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menggunakan jasa Pepatih Dalem Danurejo Vlll diminta mendesak G.R.M. Dorojatun
karena perundingan telah berjalan terlalu lama. Atas desakan dari Danurejo Vlll
ini G.R.M. Dorojatun menJawab, "Kalau paman yang hendak menjadi Sultan, silahkan."
Seret dan alotnya perundingan itu sebenarnya adalah buntunya pembicaraan mengenai
3 hal pokok yang menyangkut:
1.
Jabatan Pepatih Dalem, di samping ia orangnya Sultan, ia juga
adalah orangnya Belanda dapat gaji dari Sultan 3.000 golden dan dari Belanda 2.000
golden. Apabila konflik antara sultan dan belanda, maka Pepatih Dalem harus memihak
Belanda.
2.
Komposisi Dewan Penasehat sulit diterima oleh G.R.M. Dorojatun
karena disamping ada orang-orangnya Belanda yang masuk pada Dewan Penasehat, maka
orang-orangnya Sultan harus mendapat rekomendasi dahulu dari Belanda G.R.M. Dorojatun
juga mengusulkan agar Dewan Penasehat ini mempunyai kebebasan berbicara, sebab tanpa
kebebasan ini dirasakan tidak mungkin mewakili kepentingan rakyat, tetapi usul ini
ditolak.
3.
Prajurit Kraton menurut Belanda akan dijadikan Legiun, dan
merupakan bagian dari Tentara Hindia Belanda di bawah komando KNIL, pihak Kraton
tidak bisa memerintah prajurit tersebut, tetapi Kasultanan yang harus menggaji dan
merekrut mereka, dalam hal ini G.R.M. Dorojatun tidak setuju.
Pada akhir bulan Februari 1940, dalam situasi lelah, stress
dan antara bangun dan tidur sore hari, G.R.M. Dorojatun mendengar suara:
"Thole tekenen wae, Landa
bakal lungo saka bumi kene)
(Anakku tandatangani saja, Belanda akan pergi dari negeri ini)
Inilah yang menjadi keyakinan dari G.R.M. Dorojatun (Sri
Sultan HB lX) dalam perjuangan tetap mempertahankan eksistensi Ngayogyakarta
Hadiningrat dan bergabung dengan Rl Proklamasi 17 Agustus 1945, serta tetap
mempertahankan berdirinya NKRI sampai Belanda benar-benar pergi dari Indonesia
dimulai dari Yogyakarta. "Wisik itu adalah sumber dasar bagi saya, saya
yakin dan percaya penuh bahwa petunjuk dari Nenek Moyang saya itu benar dan
harus saya ikuti. Maka oleh karena itu, orang akan mengerti sikap saya selama
seluruh jaman Jepang dan lahirnya Rl," demikian dikatakan dengan tegas oleh
Sultan HB l X.
Penandatangana Kontrak terjadi pada 12 Maret 1940 bertempat
di Tratag Gedhong Proboyekso Kraton.
Upacara Jumenengan di selenggarakan pada 18 Maret 1940 di Siti Hinggil Kraton
Ngayogyakarta. Dalam upacara ini ada 2 penobatan Jumenengan, yaitu:
1.
G.R.M. Dorojatun dinobatkan sebaga Putra Mahkota bergelar
Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Suddibyo Raja Putra Narendra Mataram.
2.
Lima menit kemudian Putra Mahkota ini diangkat sebagai sultan
bergelar Ngarsodalem Sampeyandalem Hingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Hing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Hingkang Jumeneng
Kaping lX ( sanga).
Pidato Sri Sultan Hamengku Buwono lX pada acara Jumenengan ini berbunyi:
"Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada dipundak saya adalah
sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat
dan Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam
pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah
orang Jawa. Maka selama ini tak menghambat kemajuan, dan akan tetap menduduki
tempat yang utama dalam Kraton yang kaya tradisi ini. Izinkanlah saya
mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji. Semoga saya dapat bekerja untuk
memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang
ada pada saya."
Menjelang masuknya Tentara Jepang ke Indonesia dan
khususnya ke Yogyakarta, Sri Sultan HB lX beserta seluruh keluarganya selalu
berbusana Jawa, juga memerintahkan agar semua nama-nama took yang berbau atau
berbahasa Belandad ganti dengan bahasa Jawa. Pada prinsipnya semua yang berbau
Belanda diusahakan untuk tidak dipakai atau digunakan. Pada tanggal 5 Maret
1942 Jepang menduduki Yogyakarta dan sedang Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang di Subang, Jawa Barat pada 8 Maret 1942. Pada 1 Agustus1942 Sri
Sultan Hamengku Buwono lX diangkat meniadi Jogja Koo (Sultan Yogyakarta) oleh
Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta. Untuk menghindari agar
penduduk tidak dijadikan Romusha oleh Jepang, maka Sri Sultan HB lX membuat
Proyek Selokan Mataram, yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.Selokan Mataram ini
adalah salah satu realisasi kepercayaan masyarakat bahwa dengan tersambungnya antara
sungai Progo dengan sungai Opak maka kemakmuran rakyat akan terwujud. Sri
Sultan juga menyembunyikan atau memanipulasi angka-angka statistik yang sebenarnya
antara lain jumlah penduduk, hasil panen padi, populasi ternak dan bahan makan lainnya
agar tidak diminta oleh Jepang. Sri Sultan HB lX tidak menghendaki Jepang memerintah
langsung Yogyakarta, agar segala hal yang menyangkut Daerah Kasultanan Yogyakarta
dibicarakan dahulu dengan Sultan. Kepada Pepatih Dalem (Danurejo Vlll)
dikeluarkan perintah agar selanjutnya hanya bertindak atas perintah Sultan. Sedang
berkantornya dipindahkan dari Kepatihan, mulai saat itu Pepatih Dalem berkantor
di dalam Kraton (di Gedhong Purworetno), dan sejak 1 Agustus 1945 dipensiun,
yang kemudian semua kekuasaan pemerintahan dipegang langsung oleh Sri Sultan HB
lX. Pada tanggal 7 Oktober 1945 terjadi peristiwa pelucutan senjata di Kota
Baru. Jepang pada waktu itu hanya mau menyerahkan secara resmi kepada Koo (Raja)
dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Jepang akhirnya benar-benar menyerah
secara resmi kepada Sri Sultan HB lX bertempat di Emper Gedhong Purworetno Kraton.
Proklamasi Kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta atas nama Bangsa lndonesia di Jakarta, disambut dengan ucapan
syukur kepada Allah SWT oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sri Sultan HB lX dan
Sri Paku Alam VlIl lmengucapkan selamat kepada Bung Karno, Bung Hatta dan Dr.
Rajiman Widyodiningrat dengan mengirimkan surat kawat (Telegram) utusan K.R.T
Honggowongso pada 18 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Agustus 1945 lr. Soekarno
memberikann Piagam Penetapan Kedudukan Yogyakarta, Sri Sultan HB lX, dan Sri
Paku Alam Vlll dalam lingkungan Republik Indonesia. (Piagam Penetapan ini disampaikan
langsung kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam Vlll oleh menteri Negara Mr.
Maramis dan Mr. Sartono yang bertindak sebagai utusan Presiden lr. Soekarno diantar
oleh B.P.H Puruboyo di Kepatihan tanggal 6 September 1945 yaitu satu hari sesudah
Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam Vlll menyampaikan Amanat 5 September 1945 yang
isinya bahwa Negari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman secara hitam diatas
putih (tertulis) menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia). Timbul
pertanyaan mengapa Piagam Penetapan itu baru disampaikan kepada Sri Sultan HB lX
dan Sri Paku Alam pada tanggal 6 September 1945? Hal ini karena Mr. Maramis dan
Mr. Sartono mendengar berita bahwa Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam Vlll akan
menyatakan bergabung dengan Negara Rl secara tertulis hitam diatas putih. Maka ada
kekhawatiran dari 2 menteri negara utusan presiden tersebut, jangan-jangan isinya
bertentangan dengan Piagam Ketetapan dari presiden itu. Maka sesudah jelas tidak
ada pertentangannya maka tanggal 6 September 1945 itu dipandang waktu yang tepat
untuk menyampaikannya. Pada tanggal 20 Agustus 1945 Sri Sultan HB lX selaku Ketua
Yogyakarta Kooti Hookookai mengirim kawat ucapan selamat kepada presiden dan wakil
presiden atas lahirnya Negara Indonesia dan pernyataan siap berdiri di belakang
presiden dan wakil presiden.
Pernyataan bergabung secara tertulis dari Sri Sultan HB lX dan Sri Paku
Alam Vlll itu atas persetujua Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada
5 September 1945. Pernyataan ini berbentuk amanat yang isi pokoknya adalah:
1.
Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negari yang bersifat kerajaan
adalah daerah istimewa dari Negara Republik lndonesia.
2.
Segala Kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada
ditangan Sultan Hamengku Buwono lX.
3.
Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemernitah
Rl bersifat langsung kepada Presiden Rl. Amanat Sri Paku Alam Vlll pada pokoknya
sama dengan Amanat Sri Sultan HB VIII Sultan, hanya lingkup daerahnya saja yang
berbeda yang disebut Negari Paku Alaman, atau sering disebut sebagai Kadipaten
Paku Alaman.
4.
Kedua amanat tersebut adalah berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 yang sudah diberlakukan sejak tanggal 18 Agustus 1945.
Pada waktu para Pemimpin Negara Rl yang berada di lbu Kota
Jakarta merasa tidak aman dan terancam keselamatannya oleh Belanda yang masuk kembali
dengan membonceng tentara Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang. Sri Sultan HB
lX mempersilahkan para pemimpin Negara Rl untuk memindahkan lbu Kota Negara ke
Yogyakarta, dan perpindahan terrjadi sejak 4 Januari 1946.
Sri Sultan HB lX masuk sebagai Menteri Negara pada Kabinet
Syahrir (Kabinet ke lll) pada tahun 1946.
Pada 26 Oktober 1945 (Maklumat No.5) pembentukan Laskar Rakyat
Mataram yang berfungsi sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat.
Mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, dengan memindahkan
pusat Pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta, oleh para pemimpin bangsa ini
sudah sangat disadari, sempat menjadi pembicaraan antara Bung Karno, Pak Dirman,
dan Sri Sultan HB lX, bahwa dapat dipastikan Yogyakarta akan menjadi sasaran tembak
Belanda cepat atau lambat Belanda pasti akan menyerang Yogyakarta pada waktu itu
direncanakan apabila benar Belanda menyerang, maka jelas Pak Dirman beserta tentaranya
akan melakukan perang Gerilya, Bung Karno akan demikian juga, sedang Sri Sultan
HB VIII Sultan akan tetap dikota dan akan membantu perlawanan Rakyat dan Tentara
terhadap Belanda.
Pada pagi tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang
Yogyakarta sebagai Ibu Kota Rl. Sidang Kabinet dan BP KNIP dipimpin oleh presiden
dan wakil presiden memutuskan untuk memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara
untuk membentuk pemerintahan Darurat (PDRI) di Bukit Tinggi. Apabila PDRI di
Bukit Tinggi gagal, maka kepada Lambertus Nico Palar di New Delhi, India, agar meneruskan
kegiatan Pemerintahan Rl. Sesuai dengan keputusan Sidang Darurat tersebut bahwa
presiden, wakil presiden serta para menteri menyerah kepada Belanda dan diasingkan
ke Brastagi dan Bangka yang kemudian dijadikan satu semua ditahan di Menumbing,
Bangka. Pak Dirman dengan pasukannya sesuai rencana tetap melawan dengan gerilya,
sedang Sri Sultan HB lX juga sesuai rencana berada di kota membantu perlawanan
rakyat dan tentara melawan Belanda secara diam-diam.
Sesuai rencana Belanda sejak lama akan memperalat Sri Sultan
HB lX untuk kepentingan penjajahan, Belanda selalu membujuk Sri Sultan HB VIII Sultan
agar bisa bekerja sama dengan janji-ianji akan diangkat sebagai Super Wali Negara
diseluruh Jawa dan Madura. Ajakan kerja sama itu disampaikan oleh suruhan Belanda
antara lain: Residen EM Stok, Dr. Berkhuis, Kol. Van Langen, Prof. Husein Jayadiningrat,
dan Sultan Hamid. Sultan HB lX tidak pernah mau menerima kedatangan dan tawaran
mereka itu, lewat saudara-saudara Sultan antara lain G.B.P.H. Prabuningrat, G.B.P.H.
Bintoro, dan G.B.P.H. Murdaningrat.
Sri Sultan HB lX membantu perjuangan rakyat dan TNl, antara
lain dalam menghadap propaganda Belanda yang menyatakan bahwa pemerintah Rl sudah
tidak ada, bahwa yang melawan sekarang ini tinggal para ekstrimis dan grombolan
pengacau saja. Pada waktu itu Sri Sultan HB lX melihat semangat penduduk sangat
merosot dan beliau mendengarkan siaran radio BBC, ABC, VOA bahwa dalam permulaan
Februari 1949 Dewan Keamanan PBB akan bersidang untuk membicarakan soal Indonesia.
Maka pertama untuk meningkatkan semangat penduduk kembali, kedua untuk
mengadakan sesuatu yang bias menarik perhatian. "Oleh karena itu pada permulaan
bulan Februari saya kirim surat pada Pak Dirman, meminta ijin agar supaya diadakan
suatu serangan umum, akan tetapi pada siang hari, sudah barang tentu dengan
segala resiko yang ada pada suatu serangan. Ini disetujui oleh Pak Dirman, dan dinyatakan
agar supaya saya berhubungan langsung dengan komandan yang bersangkutan, yaitu Let.
Kol. Soeharto, sekarang presiden kita. Kita mengadakan pertemuan 14 Februari. Kita
menentukan serangan umum itu tanggal 28 Februari. Lalu tanggal 28 Februari itu
bocor, lalu ditentukan1 Maret jam 6 pagi, kalau sirine berbunyi, dan itu
dilakukan. Lalu terjadi serangan umum. Ternyata berhasil sekali. Kita dapat
menduduki kembal Yogyakarta itu sampai jam 3, oleh karena jam 2 siang saya dapat
informasi bahwa kavaleri, yaitu berupa tank-tank dari Magelang telah berangkat menuju
Yogyakarta. Oleh karena itu saya mengusulkan kepada Pak Harto agar korban jangan
sampai terlalu banyak, untuk mengundurkan diri, dan persis jam 3 TNI mengundurkan
diri, dan menurut pendapat saya, sudah cukup untuk menarik perhatian dari
security council. Kejadian ini disiarkan oleh pemancar kita yang ada di Gunung Kidul
di Playen, ke Bukit Tinggi dan dari Bukit Tinggi ke India, dan dari India ke
PBB. Dan ternyata ini mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali sehingga terjadi
keputusan dari pada security council bahwa republik harus kembali. Dan sebagai akibat
dari keputusan itu diadakan perundingan antara Van Royen dan Roem. Tentara Belanda
keluar dari kota pada 29 Juni. Dan Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari
Bangka tanggal 6 Juli, maka dengan demikian kembali pemerintahan di Yogya".
Pada Tanggal 3 Maret ada surat pemberitahuan yang disampaikan
oleh kapten De Yong ajudan Kol. Van Langen lewat G.B.P.H. Prabuningrat untuk
Sri Sultan HB lX yang memberitahukan bahwa jam 11.00 siang itu Jendral Mayer akan
ketemu Sri Sultan HB lX. Kemudian Sri Sultan HB lX memerintahkan kepada G.B.P.H
Prabuningrat mempersiapkan tempat dan kursi di sebelah utara emper Bangsal Kencono
untuk menerima Jendral Mayer tersebut, dan menjemput kedatangannya di Gerbang Sri
Manganti. Ternyata Mayer dikawal pasukan dengan tank-tank dan Panser membawa juga
pejabat sipil dan militernya antara lain Residen Stoock, Dr. Agenent, Kol. Van
Langen dan Kapten De Yong, sedang moncong senjata pada tank-tank serta pancer
semuanya dihadapkan ke arah Gerbang Sri Manganti. Sri Sultan menunggu di kursi yang
telah siap, begitu mereka itu duduk, langsung Mayer menyerang dengan pertanyaan
sambil menunjukkan bukti secarik kertas tissue yang berisi perintah Sultan kepada
para Gerilyawan. Mayer mengatakan bahwa Sri Sultan telah bertindak nonkooperatif
yaitu telah berhubungan dengan para ekstrimis, ini buktinya, kami memerlukan Jawabanya
atau tidak. Sri Sultan tidak menanggapi pertanyaan Mayer tersebut, Malahan ganti
menyerang dengan pertanyaan pula. Bahwa sesuai dengan Dewan Keamanan PBB, Saya
selaku salah satu pimpinan Republik harus dibebaskan. Mestinya Belanda harus segera
menindaklanjuti keputusan pembebasan ini. Saya minta bukti pembebasan ini. Anehnya,
Jenderal Mayer menjadi kelihatan panik, menanyakan kepada Van Langen apakah surat
pembebasan itu sudah dikirim? Kemudian Van Langen menanyakan kepada De Yong, yang
diJawab bahwa surat dimaksud masih ada di mejanya. Selanjutnya Sri Sultan dengan
nada keras mengatakan bahwa apabila Sultan mau ditahan maka Sultan telah siap dengan
menunjukkan sebuah tas hitam disamping kanan kakinya, akan tetapi apabila Kraton
akan diperlakukan seperti Kepatihan (Kepatihan adalah kantor Sri Sultan, yang pada
tanggal 22 Februari telah diacak-acak oleh Belanda), maka bunuh lebih dulu sava.
Dengan kata-kata yang jelas dan tegas ini, masih ditambah oleh Sri Sultan dengan
kata: “Kalau demikian persoalan kita pandang cukup dan persoalan sudah cukup jelas.
Maka Mayer dan kawan-kawannya mohon pamit, mereka menuju ke pintu gerbang Sri
Manganti seperti pada waktu merekam asuk.
Oleh karena Belanda segera akan menarik tentaranya dari Yogyakarta, maka Sri
Sultan pergi ke Menumbing Bangka guna menemui para Pimpinan Republik antara lain
Bung Karno. Sri Sultan mendapatkan tugas berdasarkan Penetapan Presiden Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RI tangga1l Mei 1949 sebagai Menteri Koordinator Keamanan
untuk:
-
Menerima kembali kekuasaan sepenuhnya baik sipil maupun
militer, atas Daerah lstimewa Yogyakarta dari tangan Belanda.
-
Mengatur pengembalian Pemerintah RIl di Yogyakarta. Untuk
menyelenggarakan pe kerjaan itu, Presiden memberi kuasa sepenuhnya (Pleins pouvoirs)
untuk menggunakan segala alat pemerintahan misalnya tentara, polisi Negara,
Pamong Praja dan pegawai Maka berdasarkan penetapan presiden tersebut Sri
Sultan HB lX mengambil langkah langkah:
- Mengatur penarikan tentara Belanda, terakhir meninggalkan Yogyakarta tanggal
29 Juni1 949.
- Tanggal 30 Juni 1949 Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan Proklamasi
yang bermakna:
a.
Pengumuman kepada dunia Internasional bahwa N.K.R.I masih
tegak berdiri.
b.
Penegakan kembali bahwa seluruh Rakyat Yogyakarta tetap
konsisten mendukung N.K.R.I. dan tidak goyang tetap menyatu dengan N.K.R.I.
c. Selama Sukarno-Hatta dan para Pimpinan lainnya belum kembali ke Yogyakarta,
tidak ada kekosongan pimpinan.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima kembali propinsi dan kabupaten dan kabupaten-kabupaten
dari Belanda.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima
kembali kedaulatan RI dari wakil Mahkota Belanda A.H.J. Lovink di lstana Rijkwik
di Jakartap ada 27 Desember 1949. Pada acara ini dihadiri utusan-utusan dari
Negara-Negara India, Pakistan, Filiphina, Mesir, Birma, Negara-Negara Arab, Siyam
(Muangthai). Dalam acara tersebut ada acara menurunkan bendera Merah Putih Biru
dan kemudian di dinaikkan bendera merah putih, yang semuanya dengan penghormatan.
Pada upacara penyerahan kedaulatan ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX menegaskan
dalam pidatonya: "Bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka bercita-cita
menyumbang kebahagiaan umat manusia dan membantu tercapainya perdamaian dunia."
Tepat setelah selesainya upacara bersejarah ini, Wakil Mahkota Belanda A.H.J. Lovink
terbang dengan pesawat udara menuiu negeri Belanda. Selamat jalan. Teringat juga
kita akan kata-kata terakhirnya “......Yang dapat digenggam hanyalah yang baru......"
0 comments:
Posting Komentar