Tahta Untuk Rakyat Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwana IX

Judul Buku      : Tahta Untuk Rakyat Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwana IX
Editor              : Atmakusumah
Penerbit           : PT Gramedia Jakarta

G.R.M Dorojatun dalam usia 4 tahun di in de kost kan pada keluarga Mulder seorang Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School seperti saudara-saudaranya yang lain, secara terpisah sebagai kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII semenjak beliau masih sebagai putra mahkota. Putra-putranya agar dididik sebagai orang biasa saja, tidak usah diistimewakan sebagai seorang bangsawan. Hendaknya anak-anak itu menyerap hidup sederhana dan penuh disiplin, sebagaimana yang ada dalam kalangan orang-orang Belanda. Sri Sultan HB VIII telah melihat jauh kedepan, bahwa menyanjung atau memanjakan sebagaimana bangsawan lainnya yang diterapkan sangat tidak baik bagi pendidikan putra-putranya, tetapi beliau menghendaki yang keras bahkan sedi8kit spartaans. Putra-putranya harus hidup diluar Kraton, pendidikan yang jauh dari ibunya justru diharapkan anaj-anaka tersebut tidak menjadi manja dan dapat mandiri.
Pesan Sri Sultan HB VIII kepada G.R.M. Dorojatun sebelum berangkat ke Negeri Belanda akan menjadi bekal utama dalam menghadapi Belanda, pesan tersebut berbunyi:
“Selama di Negeri Belanda bukalah pintu hatimu seluas-luasnya. Perupayalah agar kau benar-benar menyelami sifat-sifat orang Belanda, karena dimasa depan kau akan selalu berurusan dengan mereka. Jangan kamu kepencut (tertarik hatimu) atau malahan menikah dengan noni-noni Belanda.”
Sebelum berangkat ke negeri Belanda, G.R.M. Dorojatun bersama-sama B.R.M. Tinggarto di A.M.S. anehnya kedua-duanya di in the kost kan pada seorang anggota militer yang bernama Let. Kol. De Boer, ini berarti Sri Sultan HB VIII lebih mengetatkan pendidikan pada putra-putranya yang sudah dewasa agar lebih disiplin lagi. Pada bulan Maret 1930 G.R.M. Dorojatun bersama-sama B.R.M. Tinggarto didampingi keluarga Hofland berangkat menuju Negeri Belanda. Disana masuk sekolah Gymnasium di Haarlem dan selesai pada tahun 1934, kemudian G.R.M Dorojantun melanjutkan di Rijkuversiteit di Leiden pada Faculteit Indologi.
G.R.M. Dorojatun bersama saudara-saudaranya sekolah di Belanda sampai tahun 1939 dimana Jerman sudah menyerang Polandia, yang berarti Perang Dunia II sudah dimulai. Timbul kekhawatiran dari Sri Sultan HB VIII, Jerman juga akan menyerang Belanda, maka segera Sri Sultan HB VIII memerintahkan agar putra-putranya pulang.
Sri Sultan HB VIII pada suatu saat sakit keras sampai tidak sadarkan diri dan dirawat oleh B.R.Ay Tejoretno dan berhasil sadar kembali kemudian Sri Sultan HB VIII mengatakan bahwa beliau minta kepada Allah SWT agar usianya diperpanjang sampai dengan G.R.M. Dorojatun pulang (Dalam Bahasa Jawa kata-katanya adalah: “Aku nyuwon onjot tekan nekwis Jatun teka”) Kelihatannya Sri Sultan HB VIII Sultan sudah tahu bahwa saatnya sudah sangat dekat untuk segera menyerahkan tahtanya kepada G.R.M. Dorojatun.
Sesudah mendapat telegram dari Sri Sultan HB VIII nahwa para putra-putra ini harus pulang segera, kebetulan tiket kapal api sudah habis, akan tetapi ada seseorang Belanda yang baik hati dan tahu bahwa G.R.M. Dorojatun sangat ditunggu ayahnya, maka orang tersebut rela menyerahkan tiket itu kepada G.R.M. Dorojatun, sehingga bisda berangkat pulang mendahului para saudara-saudaranya, pada bulan September 1939.
Pada tanggal 13 Oktober 1939 Sri Sultan HB VIII beserta adik-adik beliau yang berkedudukan sebagai ajudan berangkat ke Batavia (Jakarta) bermaksud menjemput G.R.M. Dorojatun dan menginap di Hotel Des Indes. Sri Sultan HB VIII memerintahkan bahwa nanti begitu G.R.M. Dorojatun turun dari kapal di pelabuhan Tanjung Priok maka yang lebih tua dari G.R.M. Dorojatun agar besalaman dan yang lebih muda dari G.R.M. Dorojatun agar melakukan sembah dan berbahasa karma dalam berkomunikasi.
Pada tanggal 18 Oktober 1939 B.R.M. Dorojatun mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok disambut sesuai rencana dan langsung menuju Hotel Des Indes.
Sebelum memenuhi undangan Gubernur Jenderal, G.R.M. Dorojatun sewaktu berbusana Mataraman, dibusanani oleh Sri Sultan HB VIII, sesudah selesai G.R.M. Dorojatun dalam hatinya bertanya masih ada kekurangan dalan busananya, yaitu belum memakai keris. Sesaat kemudian G.R.M. Dorojatun dipanggil Sri Sultan HB VIII di kamarnya, dengan posisi membelakangi Sri Sultan dan langsung menerapkan Pusaka Keris Kanjeng Kyai Jokopiturun pada panggung G.R.M. Dorojatun, dengan tanpa sepatah katapun dari Sultan. Peristiwa ini sebenarnya bisa dibaca  bahwa penetapan sebagai Putra Mahkota telah terjadi, karena Kanjeng Kyai Joko Piyurun merupakan tanda bahwa pemakainya adalah Putra Mahkota. Kejadian tersebut disaksikan oleh 2 orang paman dari G.R.I. Dorojatun dan 4 orang adiknya.
Sri Sultan HB VIII walaupun dalam keadaan tidak sehat memerintahkan hari tanggal 21 Oktober 1939 pulang ke Yogyakarta/ Dengan kerata api siang rombongan Sri Sultan HB VIII menuju Yogyakarta, ditengah perjalanan karena merasa sakitnya semakin parah, maka beliau minta ganti pakaian Jawa, sesudah stasiun Purwokerto, Sultan sudah tidak sadarkan diri, oleh para putra Sultan berita segera dikirim ke Gubernur Pepatih Dalem dan dr. Westekamp. Pemeriksaan oleh dr. Westerkamp baru dilaksanakan di stasiun Wates.  Sampai di stasiun Tugu, Sri Sultan HB VIII langsung dibawa ke Rumah Sakit Onder de Bogen (Panti Rapih), dan pada 22 Oktober 1939 jam 4.48 pagi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat, dan 24 Oktober 1939 dimakamkan.
Gubernur Lucian Adam mengambil oper kekuasaan Kraton, sambil menunggu diangkatnya Sultan yang baru. Gubernur mengangkat panitia yang ditugaskan mengurus Pemerintahan Kraton, sambil menunggu diangkatnya Sultan yang baru.
Panitia teridiri dari 5 orang yaitu:
1.      G.R.M. Dorojatun sebagi ketua
2.      G.P.H. Mangkukusumo (putra dari Sultan HB VII, dan kakak dari Sultan HB VIII)
3.      G.P.H. Tejokusumo (Adik dari G.P.H. Mangkukusumo)
4.      G.P. Hangabehi (Kakak dari G.R.M. Dorojatun lain ibu)
5.      B.P.H. Puruboyo (Kakak dari G.R.M. Dorojatun lain ibu)
Sebelum G.R.M. Dorojatun berhadapan dengan Pemerintah Belanda dalam rangka pengangkatan Sultan yang baru, maka G.R.M. Dorojatun secara langsung mengumpulkan kerabat kraton terutama para putra Sultan HB VII dan HB VIII, menanyakan kepada mereka siapa diantara mereka yang mempunyai keinginan untuk menjadi Sultan Hamengku Buwana IX. Ternyata secara spontan para kerabat tersebut tidak ada satupun yang menginginkan menjadi Sultan HB lX, semuanya mendukung G.R.M. Dorojatun secara kompak. Sesudah para kerabat kompak maka G.R.M. Dorojatun dapat lebih konsentrasi menghadapi Pemerintah Hindia Belanda.
Atas nama PemerintahH indiaB elandad alam hal ini adalah Gubernur Lucien Adam yang sudah sangat berpengalaman, usianya 2 kaliu sia G.R.M. Dorojatun kurang lebih 5 sampai 6 tahun. Perundingan untuk mempersiapkan Politik Kontrak berjalan seret dan alot, Gub. L. Adam hamper kehilangan kesabarannya, apalagi dia sudah didesak oleh atasannya di Batavia, sehingga suatu kali dia berucap: "Sayang sekali Baginda HB Vlll sudah tak ada lagi" (Mungkin ia berpikir, andaikata HB Vlll masih ada tentu ia dapat mempengaruhi calon Raja yang keras kepala ini), maka Jawaban G.R.M. Dorojatun atas kata-kata Gub. Adam tersebut: "Ternyata sampai saat ini anda sebenarnya tidak tahu bagaimana ayah saya itu." Pemerintah Hindia Belanda kemudian menggunakan jasa Pepatih Dalem Danurejo Vlll diminta mendesak G.R.M. Dorojatun karena perundingan telah berjalan terlalu lama. Atas desakan dari Danurejo Vlll ini G.R.M. Dorojatun menJawab, "Kalau paman yang hendak menjadi Sultan, silahkan." Seret dan alotnya perundingan itu sebenarnya adalah buntunya pembicaraan mengenai 3 hal pokok yang menyangkut:
1.         Jabatan Pepatih Dalem, di samping ia orangnya Sultan, ia juga adalah orangnya Belanda dapat gaji dari Sultan 3.000 golden dan dari Belanda 2.000 golden. Apabila konflik antara sultan dan belanda, maka Pepatih Dalem harus memihak Belanda.
2.         Komposisi Dewan Penasehat sulit diterima oleh G.R.M. Dorojatun karena disamping ada orang-orangnya Belanda yang masuk pada Dewan Penasehat, maka orang-orangnya Sultan harus mendapat rekomendasi dahulu dari Belanda G.R.M. Dorojatun juga mengusulkan agar Dewan Penasehat ini mempunyai kebebasan berbicara, sebab tanpa kebebasan ini dirasakan tidak mungkin mewakili kepentingan rakyat, tetapi usul ini ditolak.
3.         Prajurit Kraton menurut Belanda akan dijadikan Legiun, dan merupakan bagian dari Tentara Hindia Belanda di bawah komando KNIL, pihak Kraton tidak bisa memerintah prajurit tersebut, tetapi Kasultanan yang harus menggaji dan merekrut mereka, dalam hal ini G.R.M. Dorojatun tidak setuju.
Pada akhir bulan Februari 1940, dalam situasi lelah, stress dan antara bangun dan tidur sore hari, G.R.M. Dorojatun mendengar suara:
"Thole tekenen wae, Landa bakal lungo saka bumi kene)
(Anakku tandatangani saja, Belanda akan pergi dari negeri ini)
Inilah yang menjadi keyakinan dari G.R.M. Dorojatun (Sri Sultan HB lX) dalam perjuangan tetap mempertahankan eksistensi Ngayogyakarta Hadiningrat dan bergabung dengan Rl Proklamasi 17 Agustus 1945, serta tetap mempertahankan berdirinya NKRI sampai Belanda benar-benar pergi dari Indonesia dimulai dari Yogyakarta. "Wisik itu adalah sumber dasar bagi saya, saya yakin dan percaya penuh bahwa petunjuk dari Nenek Moyang saya itu benar dan harus saya ikuti. Maka oleh karena itu, orang akan mengerti sikap saya selama seluruh jaman Jepang dan lahirnya Rl," demikian dikatakan dengan tegas oleh Sultan HB l X.
Penandatangana Kontrak terjadi pada 12 Maret 1940 bertempat di Tratag Gedhong Proboyekso Kraton.
Upacara Jumenengan di selenggarakan pada 18 Maret 1940 di Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta. Dalam upacara ini ada 2 penobatan Jumenengan, yaitu:
1.    G.R.M. Dorojatun dinobatkan sebaga Putra Mahkota bergelar Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Suddibyo Raja Putra Narendra Mataram.
2.    Lima menit kemudian Putra Mahkota ini diangkat sebagai sultan bergelar Ngarsodalem Sampeyandalem Hingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Hing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Hingkang Jumeneng Kaping lX ( sanga).
Pidato Sri Sultan Hamengku Buwono lX pada acara Jumenengan ini berbunyi:
"Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada dipundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama ini tak menghambat kemajuan, dan akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Kraton yang kaya tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji. Semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya."
Menjelang masuknya Tentara Jepang ke Indonesia dan khususnya ke Yogyakarta, Sri Sultan HB lX beserta seluruh keluarganya selalu berbusana Jawa, juga memerintahkan agar semua nama-nama took yang berbau atau berbahasa Belandad ganti dengan bahasa Jawa. Pada prinsipnya semua yang berbau Belanda diusahakan untuk tidak dipakai atau digunakan. Pada tanggal 5 Maret 1942 Jepang menduduki Yogyakarta dan sedang Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Subang, Jawa Barat pada 8 Maret 1942. Pada 1 Agustus1942 Sri Sultan Hamengku Buwono lX diangkat meniadi Jogja Koo (Sultan Yogyakarta) oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta. Untuk menghindari agar penduduk tidak dijadikan Romusha oleh Jepang, maka Sri Sultan HB lX membuat Proyek Selokan Mataram, yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.Selokan Mataram ini adalah salah satu realisasi kepercayaan masyarakat bahwa dengan tersambungnya antara sungai Progo dengan sungai Opak maka kemakmuran rakyat akan terwujud. Sri Sultan juga menyembunyikan atau memanipulasi angka-angka statistik yang sebenarnya antara lain jumlah penduduk, hasil panen padi, populasi ternak dan bahan makan lainnya agar tidak diminta oleh Jepang. Sri Sultan HB lX tidak menghendaki Jepang memerintah langsung Yogyakarta, agar segala hal yang menyangkut Daerah Kasultanan Yogyakarta dibicarakan dahulu dengan Sultan. Kepada Pepatih Dalem (Danurejo Vlll) dikeluarkan perintah agar selanjutnya hanya bertindak atas perintah Sultan. Sedang berkantornya dipindahkan dari Kepatihan, mulai saat itu Pepatih Dalem berkantor di dalam Kraton (di Gedhong Purworetno), dan sejak 1 Agustus 1945 dipensiun, yang kemudian semua kekuasaan pemerintahan dipegang langsung oleh Sri Sultan HB lX. Pada tanggal 7 Oktober 1945 terjadi peristiwa pelucutan senjata di Kota Baru. Jepang pada waktu itu hanya mau menyerahkan secara resmi kepada Koo (Raja) dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Jepang akhirnya benar-benar menyerah secara resmi kepada Sri Sultan HB lX bertempat di Emper Gedhong Purworetno Kraton.
Proklamasi Kemerdekaan Rl 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama Bangsa lndonesia di Jakarta, disambut dengan ucapan syukur kepada Allah SWT oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam VlIl lmengucapkan selamat kepada Bung Karno, Bung Hatta dan Dr. Rajiman Widyodiningrat dengan mengirimkan surat kawat (Telegram) utusan K.R.T Honggowongso pada 18 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Agustus 1945 lr. Soekarno memberikann Piagam Penetapan Kedudukan Yogyakarta, Sri Sultan HB lX, dan Sri Paku Alam Vlll dalam lingkungan Republik Indonesia. (Piagam Penetapan ini disampaikan langsung kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam Vlll oleh menteri Negara Mr. Maramis dan Mr. Sartono yang bertindak sebagai utusan Presiden lr. Soekarno diantar oleh B.P.H Puruboyo di Kepatihan tanggal 6 September 1945 yaitu satu hari sesudah Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam Vlll menyampaikan Amanat 5 September 1945 yang isinya bahwa Negari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman secara hitam diatas putih (tertulis) menyatakan bergabung dengan Negara Republik Indonesia). Timbul pertanyaan mengapa Piagam Penetapan itu baru disampaikan kepada Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam pada tanggal 6 September 1945? Hal ini karena Mr. Maramis dan Mr. Sartono mendengar berita bahwa Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam Vlll akan menyatakan bergabung dengan Negara Rl secara tertulis hitam diatas putih. Maka ada kekhawatiran dari 2 menteri negara utusan presiden tersebut, jangan-jangan isinya bertentangan dengan Piagam Ketetapan dari presiden itu. Maka sesudah jelas tidak ada pertentangannya maka tanggal 6 September 1945 itu dipandang waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Pada tanggal 20 Agustus 1945 Sri Sultan HB lX selaku Ketua Yogyakarta Kooti Hookookai mengirim kawat ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden atas lahirnya Negara Indonesia dan pernyataan siap berdiri di belakang presiden dan wakil presiden.
Pernyataan bergabung secara tertulis dari Sri Sultan HB lX dan Sri Paku Alam Vlll itu atas persetujua Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 5 September 1945. Pernyataan ini berbentuk amanat yang isi pokoknya adalah:
1.    Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negari yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik lndonesia.
2.    Segala Kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada ditangan Sultan Hamengku Buwono lX.
3.    Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemernitah Rl bersifat langsung kepada Presiden Rl. Amanat Sri Paku Alam Vlll pada pokoknya sama dengan Amanat Sri Sultan HB VIII Sultan, hanya lingkup daerahnya saja yang berbeda yang disebut Negari Paku Alaman, atau sering disebut sebagai Kadipaten Paku Alaman.
4.    Kedua amanat tersebut adalah berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diberlakukan sejak tanggal 18 Agustus 1945.
Pada waktu para Pemimpin Negara Rl yang berada di lbu Kota Jakarta merasa tidak aman dan terancam keselamatannya oleh Belanda yang masuk kembali dengan membonceng tentara Sekutu yang akan melucuti tentara Jepang. Sri Sultan HB lX mempersilahkan para pemimpin Negara Rl untuk memindahkan lbu Kota Negara ke Yogyakarta, dan perpindahan terrjadi sejak 4 Januari 1946.
Sri Sultan HB lX masuk sebagai Menteri Negara pada Kabinet Syahrir (Kabinet ke lll) pada tahun 1946.
Pada 26 Oktober 1945 (Maklumat No.5) pembentukan Laskar Rakyat Mataram yang berfungsi sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat.
Mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, dengan memindahkan pusat Pemerintahan dari Jakarta ke Yogyakarta, oleh para pemimpin bangsa ini sudah sangat disadari, sempat menjadi pembicaraan antara Bung Karno, Pak Dirman, dan Sri Sultan HB lX, bahwa dapat dipastikan Yogyakarta akan menjadi sasaran tembak Belanda cepat atau lambat Belanda pasti akan menyerang Yogyakarta pada waktu itu direncanakan apabila benar Belanda menyerang, maka jelas Pak Dirman beserta tentaranya akan melakukan perang Gerilya, Bung Karno akan demikian juga, sedang Sri Sultan HB VIII Sultan akan tetap dikota dan akan membantu perlawanan Rakyat dan Tentara terhadap Belanda.
Pada pagi tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta sebagai Ibu Kota Rl. Sidang Kabinet dan BP KNIP dipimpin oleh presiden dan wakil presiden memutuskan untuk memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan Darurat (PDRI) di Bukit Tinggi. Apabila PDRI di Bukit Tinggi gagal, maka kepada Lambertus Nico Palar di New Delhi, India, agar meneruskan kegiatan Pemerintahan Rl. Sesuai dengan keputusan Sidang Darurat tersebut bahwa presiden, wakil presiden serta para menteri menyerah kepada Belanda dan diasingkan ke Brastagi dan Bangka yang kemudian dijadikan satu semua ditahan di Menumbing, Bangka. Pak Dirman dengan pasukannya sesuai rencana tetap melawan dengan gerilya, sedang Sri Sultan HB lX juga sesuai rencana berada di kota membantu perlawanan rakyat dan tentara melawan Belanda secara diam-diam.
Sesuai rencana Belanda sejak lama akan memperalat Sri Sultan HB lX untuk kepentingan penjajahan, Belanda selalu membujuk Sri Sultan HB VIII Sultan agar bisa bekerja sama dengan janji-ianji akan diangkat sebagai Super Wali Negara diseluruh Jawa dan Madura. Ajakan kerja sama itu disampaikan oleh suruhan Belanda antara lain: Residen EM Stok, Dr. Berkhuis, Kol. Van Langen, Prof. Husein Jayadiningrat, dan Sultan Hamid. Sultan HB lX tidak pernah mau menerima kedatangan dan tawaran mereka itu, lewat saudara-saudara Sultan antara lain G.B.P.H. Prabuningrat, G.B.P.H. Bintoro, dan G.B.P.H. Murdaningrat.
Sri Sultan HB lX membantu perjuangan rakyat dan TNl, antara lain dalam menghadap propaganda Belanda yang menyatakan bahwa pemerintah Rl sudah tidak ada, bahwa yang melawan sekarang ini tinggal para ekstrimis dan grombolan pengacau saja. Pada waktu itu Sri Sultan HB lX melihat semangat penduduk sangat merosot dan beliau mendengarkan siaran radio BBC, ABC, VOA bahwa dalam permulaan Februari 1949 Dewan Keamanan PBB akan bersidang untuk membicarakan soal Indonesia. Maka pertama untuk meningkatkan semangat penduduk kembali, kedua untuk mengadakan sesuatu yang bias menarik perhatian. "Oleh karena itu pada permulaan bulan Februari saya kirim surat pada Pak Dirman, meminta ijin agar supaya diadakan suatu serangan umum, akan tetapi pada siang hari, sudah barang tentu dengan segala resiko yang ada pada suatu serangan. Ini disetujui oleh Pak Dirman, dan dinyatakan agar supaya saya berhubungan langsung dengan komandan yang bersangkutan, yaitu Let. Kol. Soeharto, sekarang presiden kita. Kita mengadakan pertemuan 14 Februari. Kita menentukan serangan umum itu tanggal 28 Februari. Lalu tanggal 28 Februari itu bocor, lalu ditentukan1 Maret jam 6 pagi, kalau sirine berbunyi, dan itu dilakukan. Lalu terjadi serangan umum. Ternyata berhasil sekali. Kita dapat menduduki kembal Yogyakarta itu sampai jam 3, oleh karena jam 2 siang saya dapat informasi bahwa kavaleri, yaitu berupa tank-tank dari Magelang telah berangkat menuju Yogyakarta. Oleh karena itu saya mengusulkan kepada Pak Harto agar korban jangan sampai terlalu banyak, untuk mengundurkan diri, dan persis jam 3 TNI mengundurkan diri, dan menurut pendapat saya, sudah cukup untuk menarik perhatian dari security council. Kejadian ini disiarkan oleh pemancar kita yang ada di Gunung Kidul di Playen, ke Bukit Tinggi dan dari Bukit Tinggi ke India, dan dari India ke PBB. Dan ternyata ini mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali sehingga terjadi keputusan dari pada security council bahwa republik harus kembali. Dan sebagai akibat dari keputusan itu diadakan perundingan antara Van Royen dan Roem. Tentara Belanda keluar dari kota pada 29 Juni. Dan Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari Bangka tanggal 6 Juli, maka dengan demikian kembali pemerintahan di Yogya".
Pada Tanggal 3 Maret ada surat pemberitahuan yang disampaikan oleh kapten De Yong ajudan Kol. Van Langen lewat G.B.P.H. Prabuningrat untuk Sri Sultan HB lX yang memberitahukan bahwa jam 11.00 siang itu Jendral Mayer akan ketemu Sri Sultan HB lX. Kemudian Sri Sultan HB lX memerintahkan kepada G.B.P.H Prabuningrat mempersiapkan tempat dan kursi di sebelah utara emper Bangsal Kencono untuk menerima Jendral Mayer tersebut, dan menjemput kedatangannya di Gerbang Sri Manganti. Ternyata Mayer dikawal pasukan dengan tank-tank dan Panser membawa juga pejabat sipil dan militernya antara lain Residen Stoock, Dr. Agenent, Kol. Van Langen dan Kapten De Yong, sedang moncong senjata pada tank-tank serta pancer semuanya dihadapkan ke arah Gerbang Sri Manganti. Sri Sultan menunggu di kursi yang telah siap, begitu mereka itu duduk, langsung Mayer menyerang dengan pertanyaan sambil menunjukkan bukti secarik kertas tissue yang berisi perintah Sultan kepada para Gerilyawan. Mayer mengatakan bahwa Sri Sultan telah bertindak nonkooperatif yaitu telah berhubungan dengan para ekstrimis, ini buktinya, kami memerlukan Jawabanya atau tidak. Sri Sultan tidak menanggapi pertanyaan Mayer tersebut, Malahan ganti menyerang dengan pertanyaan pula. Bahwa sesuai dengan Dewan Keamanan PBB, Saya selaku salah satu pimpinan Republik harus dibebaskan. Mestinya Belanda harus segera menindaklanjuti keputusan pembebasan ini. Saya minta bukti pembebasan ini. Anehnya, Jenderal Mayer menjadi kelihatan panik, menanyakan kepada Van Langen apakah surat pembebasan itu sudah dikirim? Kemudian Van Langen menanyakan kepada De Yong, yang diJawab bahwa surat dimaksud masih ada di mejanya. Selanjutnya Sri Sultan dengan nada keras mengatakan bahwa apabila Sultan mau ditahan maka Sultan telah siap dengan menunjukkan sebuah tas hitam disamping kanan kakinya, akan tetapi apabila Kraton akan diperlakukan seperti Kepatihan (Kepatihan adalah kantor Sri Sultan, yang pada tanggal 22 Februari telah diacak-acak oleh Belanda), maka bunuh lebih dulu sava. Dengan kata-kata yang jelas dan tegas ini, masih ditambah oleh Sri Sultan dengan kata: “Kalau demikian persoalan kita pandang cukup dan persoalan sudah cukup jelas. Maka Mayer dan kawan-kawannya mohon pamit, mereka menuju ke pintu gerbang Sri Manganti seperti pada waktu merekam asuk.
Oleh karena Belanda segera akan menarik tentaranya dari Yogyakarta, maka Sri Sultan pergi ke Menumbing Bangka guna menemui para Pimpinan Republik antara lain Bung Karno. Sri Sultan mendapatkan tugas berdasarkan Penetapan Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI tangga1l Mei 1949 sebagai Menteri Koordinator Keamanan untuk:
-       Menerima kembali kekuasaan sepenuhnya baik sipil maupun militer, atas Daerah lstimewa Yogyakarta dari tangan Belanda.
-       Mengatur pengembalian Pemerintah RIl di Yogyakarta. Untuk menyelenggarakan pe kerjaan itu, Presiden memberi kuasa sepenuhnya (Pleins pouvoirs) untuk menggunakan segala alat pemerintahan misalnya tentara, polisi Negara, Pamong Praja dan pegawai Maka berdasarkan penetapan presiden tersebut Sri Sultan HB lX mengambil langkah langkah:
-       Mengatur penarikan tentara Belanda, terakhir meninggalkan Yogyakarta tanggal 29 Juni1 949.
-       Tanggal 30 Juni 1949 Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyampaikan Proklamasi yang bermakna:
a.    Pengumuman kepada dunia Internasional bahwa N.K.R.I masih tegak berdiri.
b.    Penegakan kembali bahwa seluruh Rakyat Yogyakarta tetap konsisten mendukung N.K.R.I. dan tidak goyang tetap menyatu dengan N.K.R.I.
c.    Selama Sukarno-Hatta dan para Pimpinan lainnya belum kembali ke Yogyakarta, tidak ada kekosongan pimpinan.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima kembali propinsi dan kabupaten dan kabupaten-kabupaten dari Belanda.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX  menerima kembali kedaulatan RI dari wakil Mahkota Belanda A.H.J. Lovink di lstana Rijkwik di Jakartap ada 27 Desember 1949. Pada acara ini dihadiri utusan-utusan dari Negara-Negara India, Pakistan, Filiphina, Mesir, Birma, Negara-Negara Arab, Siyam (Muangthai). Dalam acara tersebut ada acara menurunkan bendera Merah Putih Biru dan kemudian di dinaikkan bendera merah putih, yang semuanya dengan penghormatan. Pada upacara penyerahan kedaulatan ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX menegaskan dalam pidatonya: "Bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka bercita-cita menyumbang kebahagiaan umat manusia dan membantu tercapainya perdamaian dunia." Tepat setelah selesainya upacara bersejarah ini, Wakil Mahkota Belanda A.H.J. Lovink terbang dengan pesawat udara menuiu negeri Belanda. Selamat jalan. Teringat juga kita akan kata-kata terakhirnya “......Yang dapat digenggam hanyalah yang baru......"

0 comments: