Pada tanggal 8 Agustus 2014, aku harus berangkat ke Kabupaten Grobogan (lagi) untuk menjadi porter senior 2012. Rute perjalanan yang kami tempuh adalah Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-Kabupaten Magelang-Kabupaten Semarang-Kabupaten Demak-Kabupaten Grobogan dengan waktu tempuh selama 5,5 jam. Dalam perjalanan tersebut, terdapat satu teman kami yang ketilang di Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang. Ia ditilang karena saat razia stnk dan sim, ia tidak mempunyai sim. Alhasil, kami harus menunggunya untuk dapat mengambil stnk-nya kembali. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan kembali. Perjalanan yang kami lakukan agak tersendat karena jalannya dipenuhi kendaraan truk tonton sehingga padat merayap. Menjelang shalat Isya, kami sampai di basecamp. Basecamp kami berada di rumah lurah Tanggungharjo.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini pemetaan dilakukan di wilayah kecamatan Tanggungharjo dan sebagian Kecamatan Kedung Jati. Pada daerah pemetaan tersebut, medan yang dihadapi adalah ladang di perbukitan teletabies. Bisa dibayangkan betapa panasnya di sana, karena gak ada pohon yang menutupi. Selain ladang di perbukitan teletabies, terdapat pula hutan jati, sawah, dan area tambang batugamping milik PT. Semen Putih Grobogan. Di area hutan jati, pohon – pohon di sana tidak terlalu lebat jadi lumayan sedikit panas. Di area ladang terdapat batulanau, batupasir, dan napal. Di area tambang batugamping terdapat berbagai macam jenis batugamping anatara lain chalky limestone, floatstone, packstone dan grainstone. Batugamping tidak hanya ditemukan di area tambang saja tetapi hutan di dekat sawah penduduk dan kuburan serta di hutan jati. Batugamping yang ada di ketiga tempat tersebut adalah rudstone. Di area hutan jati, kondisi rudstone sudah tidak karuan karena jika dilihat dari permukaan seperti ada perlapisan yang kacau atau sudah terkena struktur. Aku sendiri dibuat bingung. Ini sebenarnya apa? -__- sedangkan singkapan yang terletak di kuburan terlihat seperti bongkahan batu jika dilihat dari permukaan tanah. Di area tambang batugamping yang memanjang dari timur ke barat terlihat ada struktur antiklin. Hal itu dilihat dari dua di perlapisan batuan yang saling menjauh. Aku juga agak bingung njelasinnya gimana. Hehe. Selain itu, di wilayah pemetaan ini juga ditemukan sesar – sesar minor pada antiklin. Sesar – sesar tersebut saling mengsesarkan sesar lainnya. Nah, sekarang tambah bingung lagi karena harus menginterpretasi sesar mana yang terbentuk terlebih dahulu. Pada wilayah pemetaan ini, wilayah harus dipetakan harus detail karena kandungan material karbonatannya yang ada di setiap wilayah berbeda-beda. Kadang – kadang ada, kadang – kadang juga tidak ada.

Setelah delapan hari di sana, aku pulang ke rumah setelah melaksanakan shalat Jumat. Rute perjalanan yang kami tempuh adalah Kabupaten Grobogan-Kabupaten Salatiga-Kabupaten Boyolali-Kabupaten Klaten-Kabupaten Sleman-Kota Yogyakarta dalam waktu 3 jam.
Watu Ngelak adalah sebuah bukit batu besar yang merupakan situs bersejarah.  Situs ini berada di Dusun Puton, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, DIY. Watu Ngelak terletak di pinggir kelokan Kali Opak.

Watu Ngelak sebagai situs bersejatah tidak hanya memiliki nilai sejarah tetapi juga memiliki nilai kebumian yang tentunya menarik untuk disimak.
Watu Ngelak memiliki nilai sejarah yang dipercaya masyarakat secara turun temurun Watu Ngelak adalah tempat bersemedi Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja Mataram Islam ke-4. Dahulu Sultan Agung berkelana dari Kraton Plered untuk menyusuri Sungai Opak menuju ke Pantai Selatan. Sultan Agung berkelana untuk melakukan semedi agar mendapatkan wangsit bagaimana cara melepaskan tanah Jawa dari kekangan penjajah. Maklum saja, kala itu tanah Jawa masih belum bisa ditanami palawija dan sebagian besar berupa hutan belantara. Mata pencaharian masyarakat didapat dari perdagangan dengan bangsa barat dan hasil alam. Sultan Agung cemas akan keberlangsungan hidup masyarakat serta ancaman dari luar Pulau Jawa.  Di tengah perjalanan, Sultan Agung berhenti sejenak di sebuah desa yang menampakkan cahaya indah di malam hari. Cahaya tersebut berasal dari batu kristal yang terpantul oleh sinar bulan. Selanjutnya, Sultan Agung memutuskan untuk bermalam di tempat tersebut dan menunggu hingga terbitnya matahari. Ketika terbangun, seorang anak kecil yang sedang mencari ikan membawakannya air kelapa seolah-olah tahu bahwa Sultan Agung sedang haus. Namun, Sultan Agung masih haus dan memutuskan untuk meminum air sungai di sebelah bebatuan tempatnya bermalam, yaitu di bukit batu besar. Bukit batu besar tersebut dinamai Watu Ngelak. Watu Ngelak dalam bahasa Indonesia berarti Batu Haus. Batu Haus bermakna batu yang disinggahi Sultan Agung saat beliau sedang haus. Dusun di sekitar Watu Ngelak diberi nama Puton. Kata Puton berasal dari kata putu yang berarti cucu, karena anak kecil yang memberinya minum adalah cucu seorang janda di desa Dadapan, sebuah wilayah di selatan dusun Puton. 

Secara ilmu kebumian, Watu Ngelak merupakan bukit kuesta yang terisolasi (isolated hill). Watu Ngelak dapat dikatakan sebagai kuesta karena slope dari lereng depan lebih besar dibanding dengan slope dari lereng belakang. Kenampakan ini terbentuk oleh kemiringan lapisan bantuan yang landai, maksimum 30°. Bukit terisolasi Watu Ngelak tersusun oleh litologi batugamping berlapis dan batugamping terumbu dari Formasi Wonosari. Batugamping berlapis dan batugamping terumbu berumur tersier dikelilingi oleh endapan aluvial Kali Opak berumur kuarter sehingga disebut inlier. Di bagian footwall Sesar Opak – Ngablak, Formasi Wonosari juga ditemukan sama seperti pada bagian hangingwall. Sesar Opak – Ngablak adalah sesar turun berarah NNE – SSW dengan bagian footwall berada di sebelah ESE dan bagian hangingwall berada di WNW.

Daftar Pustaka
Srijono, Salahuddin Husein, Ev. Budiadi. 2011. Buku Ajar: Geomorfologi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
http://id.wikipedia.org/wiki/Watu_Ngelak
Kabupaten Grobogan adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berada di zona Kendeng.  Aku sudah pernah ke Kabupaten Grobogan sebanyak dua kali.
Perjalanan pertama kali, menuju Kabupaten Grobogan dari Kota Yogyakarta adalah dengan menggunakan bus. Perjalanan menggunakan bus menempuh waktu sekitar 4 jam karena harus menunggu bus yang tertinggal dan berhenti di jalan karena penggunaan lajur satu arah akibat pembetonan Jalan Solo-Purwodadi. Pada perjalanan pertama ke Kabupaten Grobogan, aku menuju ke waduk Kedung Ombo. Waduk Kedung Ombo terletak di desa Rambat kecamatan Geyer 29 km. Rute yang aku tempuh melalui Kota Yogyakarta-Sleman-Klaten-Sukoharjo-Solo-Karanganyar-Sragen-waduk Kedung Ombo. Akses menuju waduk Kedung Ombo menurutku lumayan sulit karena harus naik turun bukit serta jalannya yang bergelombang dan rusak. Obyek wisata ini akan dikembangkan menjadi obyek wisata tirta hutan budaya agrowisata. Pada hari minggu dan liburan anak sekolah, obyek wisata waduk Kedungombo ini selalu ramai dikunjungi para wisatawan. Banyak penduduk sekitar yang berjualan ikan segar baik dimasak ditempat itu maupun untuk dibawa pulang.

Kesan pertamaku melihat waduk Kedung Ombo adalah waduk yang luas, suasananya sejuk dan wilayah tertata rapi. Sayangnya, waduk Kedung Ombo dikotori oleh sisa-sisa makan yang dibuang sembarangan oleh pengunjung yang datang kesana. Cuaca di waduk Kedung Ombo saat itu sedang tidak bersahabat karena dingin dan mendung. Beberapa saat kemudian hujan deras turun disertai angin kencang. Lalu, aku langsung menuju ke bus dan rombongan kami kembali pulang ke Kota Yogyakarta.
Perjalanan kedua menuju Kabupaten Grobogan adalah untuk menemani senior 2012 untuk pemetaan mandiri di kavling 10. Kavling 10 itu terletak di kecamatan Geyer dan Kecamatan Toroh. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, perjalanan kedua ini dengan menggunakan motor dengan waktu tempuh yang lebih singkat, yaitu sekitar tiga jam dari Kota Yogyakarta. Basecamp kami terletak di desa monggot, kec. Geyer (selatan jalan solo-purwodadi). Basecamp kami lumayan agak modern karena terletak di dekat stasiun, swalayan, bank, tempat laundry, dan lain sebagainya. Perjalanan dari basecamp menuju lokasi pemetaan di kecamatan Geyer dan kecamatan Toroh membutuhkan waktu sekitar satu jam karena jalan yang berbatu dan tidak rata. Di daerah pemetaan senior saya, dijumpai semua struktur geologi baik berupa kekar, sesar, dan lipatan. Di antara struktur tersebut, lipatanlah yang paling menonjol karena terdapat sinklin skala besar pada batugamping. Selain itu juga terdapat sesar pada batu napal masif yang ditemukan kita susur sungai kurang lebih sepanjang 4 km. Daerah pemetaan seniorku merupakan daerah ladang jagung, hutan jati, persawahan, dan sebagian kecil pemukiman penduduk. Jalan-jalan di daerah tersebut mayoritas adalah jalan berbatu besar, sedangkan jembatannya sudah ada yang cor-coran tetapi ada juga yang masih menggunakan besi dan glugu (kayu pohon kelapa). Di samping itu, di daerah pemetaan itu juga ada hewan-hewan seperti tupai, burung gemak dan ular. Kearifan lokal di daerah pemetaan tersebut dapat dilihat dari bangunan masjidnya yang berarsitektur jawa serta sebagian masjid masih beralaskan kayu. Arsitektur jawa yang paling kelihatan adalah mimbar khotib serta atap masjid. Di daerah pemetaan kami terdapat waduk kecil, warga sekitar menamakannya Waduk Sumberagung atau Waduk Kenteng. Waduk tersebut digunakan warga untuk industri perikanan dan mengairi ladang. Suasana di Grobogan sangat panas dibandingkan di Jogja. Walaupun hujan deras pernah turun tapi hujan itu turun setelah menunggu selama sebulan. Berbeda dengan di Kota Yogyakarta saat itu yang hampir tiap hari turun hujan. Efek dari turunnya hujan di daerah tersebut adalah jalan menjadi becek dan licin. Di tempat pemetaan kami terdapat tempat wisata alam cindelaras. Cindelaras adalah suatu cerita rakyat dari Jawa Timur. Untuk yang ini tahu tentang Cindelaras itu apa, silahkan baca di sini. Wisata alam Cindelaras terletak di desa Ngrai kecamatan Toroh 11 km disebelah selatan kota Purwodadi. Obyek wisata ini adalah obyek campuran antara alam dan buatan. Selain itu ada juga fasilitas untuk camping ground. Di sini terdapat waduk yang ikannya banyak. Untuk yang ingin bersemedi atau ingin mencari wangsit di puncak bukit sudah disediakan tempatnya.

Selain di kecamatan Toroh dan Geyer, aku juga pergi ke Purwodadi. Perjalanan menuju ke purwodadi memakan waktu selama satu jam. Kondisi jalan yang kami tempuh bisa dikatakan baik, kecuali untuk bagian perlintasan kereta api. Rel kereta api seolah – olah seperti polisi tidur karena tingginya lebih tinggi daripada jalan rayanya. Tempat yang aku tuju di purwodadi adalah kawasan simpang lima Purwodadi dan alun – alun Purwodadi. Kawasan simpang lima Purwodadi terdapat menara air yang dibangun tahun 1981 dan arena mainan anak-anak. Kawasan ini tempat untuk lari pagi atau jalan-jalan warga Purwodadi.

Sedangkan alun – alun Purwodadi terdapat beberapa Gedung Pemerintahan di sekitarnya dan ada bangunan kunonya yaitu Gedung BRI. Selain itu, terdapat pula pohon mindek yang usianya puluhan tahun. Kalau sore hari, tempat ini merupakan tempat jajan lesehan seperti sate kelinci,nasi goreng jagung, sea food, soto dan lain-lain. Di sini juga ada arena bermain anak-anak tetapi sifatnya tidak permanen. Di alun – alun Purwodadi, aku mencicipi kuliner khas Kabupaten Grobogan yaitu nasi jagung. Nasi jagung yang aku pesan akan berbeda dari nasi jagung umumnya karena nasi jagung ini digoreng. Rasanya enak dan pedas.


Setelah kurang lebih selama 9 hari aku digrobogan, aku pulang kembali ke Kota Yogyakarta dengan menggunakan bus sampai ke Solo, lalu naik taksi ke Stasiun Balapan. Setelah itu, menaiki KA Sriwedari menuju ke Stasiun Tugu. Kemudian, sempat mampir ke Malioboro Mall untuk membeli makanan. Akhirnya, pulang ke rumah naik mobil sampai ke Bangirejo Taman dan dilanjutkan jalan kaki ke rumah.