Pada permulaan abad ke-18, Kesultanan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau wafat terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adiknya. Pertikaian ini merupakan hasil hasutan penjajah Belanda. Pertikaian akhirnya diselesaikan lewat Perjanjian Giyanti tahun 1755. Pokok perjanjian itu membagi Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakarta Hadiningrat di bawah pemerintah Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah pemerintahan bergelar Sultan Hamengku Buwono I. (kabarinews.com)
Pada tahun 1813 di Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri Kadipaten Pakualaman. Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Pemerintah Hindia Belanda saat itu mengakui Kasultanan maupun Pakualaman, sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, keturunan kedua raja tersebut, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penegasan atas kedudukan dan tanggung jawab itu dituangkan oleh HB IX dan PA VIII dalam Amanat 5 September 1945 yang disetujui oleh Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI. Momentum itu menjadi tonggak bergabungnya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam keluarga besar NKRI.
Sebenarnya, Status keistimewaan DIY telah dipergunjingkan sejak orde lama, berlanjut ke orde baru dan selanjutnya orde reformasi. Pada zaman orde lama, pasca amanat 5 September 1945, pemerintah pusat sempat menawarkan konsep pengangkatan Komisaris Tinggi sebagai penghubung antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII dengan pemerintah pusat. Namun HB IX dan Paku Alam VIII menolak keberadaan Komisaris Tinggi. Bahkan menilai bahwa posisi Komisaris Tinggi itu tak ubahnya Gubernur dalam zaman penjajahan Belanda dan Koti Zimu Koku Tyokan pada zaman penjajahan Jepang. Di zaman kepemimpinan Soeharto, status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sempat akan dihapuskan. Tak ada polemik berarti dalam masyarakat kala itu, mengingat pemerintahan dipegang oleh rezim anti demokrasi. Reaksi hanya muncul secara merangkak, yakni percikan ketegangan yang terjadi di kalangan elit. Hamengku Buwono IX pun memilih mengunci mulutnya saat berada di depan publik. Adanya kompromi di tingkat elit itulah, membuat status keistimewaan DIY tetap terjaga. (ardhachandra-ryan.blogspot.com)
Ibarat bom waktu, ledakan bom status keistimewaan DIY kembali berulang di masa reformasi, permasalahan keistimewaan Yogyakarta muncul dan mulai memicu kontroversi. Pemicunya adalah pernyataan Presiden SBY tentang sistem pemerintahan monarki Yogyakarta yang bisa bertentangan dengan konstitusi dan nilai demokrasi. Permasalahan itu semakin memanas ketika Dirjen Otonomi Kementrian Dalam Negeri mengumumkan hasil survei yang menyatakan 71% masyarakat Yogyakarta menginginkan gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui pemilihan kepala daerah. Melihat apa yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat Yogyakarta menjadi kecewa. Kekecewaan Masyarakat Yogyakarta semakin menjadi-jadi karena Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta tidak menemui arah dan tujuan yang jelas.
Pemerintah sepertinya ingin menghabisi keistimewaan Yogyakarta. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam rapat terbatas presiden berkata, "Tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi." Pernyataan Presiden itu langsung memancing reaksi dari berbagai kalangan, baik dari Dewan Perwakilan Rakyat, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan masyarakat Yogyakarta. Pernyataan presiden kala itu juga memancing reaksi dari masyarakat Yogyakarta untuk menggelar referendum. Presiden juga menjelaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi tidak boleh diabaikan dalam suatu negara. Keberadaan keistimewaan Yogyakarta ibarat monarki dalam NKRI yang mengagetkan banyak pihak dan mengganggu spirit negara demokrasi. Oleh sebab itu, presiden menghendaki pilkada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tidak berhenti sampai di sini saja, pernyataan presiden tersebut juga mendapat dukungan dari seluruh anggota fraksi Partai Demokrat di komisi II DPR RI. Sebanyak 148 kader Partai Demokrat mendukung pernyataan Presiden tersebut. Pernyataan tersebut kemudian diperkuat oleh politisi Demokrat Ruhut Sitompul dan Amir Syamsuddin. Menurut Ruhut Sitompul dan Amir Syamsuddin, “Di Yogya tidak akan bisa rakyat jelata menjadi gubernur. Hanya darah biru saja yang bisa menjadi gubernur.” Pernyataan tersebut semakin membuat telinga masyarakat Yogyakarta panas. Buntut dari pernyataan tersebut, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo (adik Sri Sultan Hamengku Buwono X) mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPD Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus keluar dari keanggotaan partai tersebut. Beliau mundur demi menjaga harga diri almarhum ayahnya dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Beliau juga merasa sakit hati atas ucapan tersebut.
Polemik semakin memanas ketika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berkata, “Draf RUUK Keistimewaan Yogyakarta yang diusulkan pemerintah tidak ada hubungannya dengan DPRD Yogyakarta.” Pernyataan tersebut membuat situasi di Yogyakarta semakin keruh, membuat situasi antara Kementerian Dalam Negeri dan masyarakat Yogyakarta bak saling berhadap-hadapan satu lawan satu dalam ring tinju.
Kejelasan mengenai nasib Daerah Istimewa Yogyajarta semakin tak menentu. Hal itu terjadi setelah Hasil survei yang dikutip Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menyatakan 71% masyarakat Yogyakarta menghendaki pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2010. Survei tersebut seolah tidak masuk akal dan mengaburkan tuntutan masyarakat. Hasil tersebut bertolak belakang dengan suara-suara masyarakat Yogyakarta yang belakangan ini marak menyuarakan gubernur dan wakil gubernur ditetapkan bukan dipilih melalui pemilihan kepala daerah.
Tiga Pernyataan tersebut menyulut api kemarahan masyarakat Yogyakarta. Kemarahan masyarakat Yogyakarta semakin meruncing ketika penyelesaian Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terancam molor dari target waktu yang ditetapkan, karena masih ada tarik ulur di DPR. Tarik Ulur ini terjadi karena pemerintah memisahkan pemilihan kepala daerah di Yogyakarta dengan posisi Sultan maupun Pakualam. Kepala daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dipilih lewat pemilihan langsung. Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam hanya sebagai simbol dan penjaga budaya serta pemersatu masyarakat Yogyakarta. Sedangkan kepala pemerintahan, yaitu gubernur dan wakil gubernur, dipilih sesuai perundang-undangan. Hal inilah yang mendapat tentangan dari masyarakat Yogyakarta. Sebagian warga Yogyakarta menilai, draft RUUK tersebut seolah mencerminkan pemerintah melupakan jasa besar Yogyakarta dan kratonnya kepada Negara Indonesia di masa pasca kemerdekaan dahulu. RUUK Yogyakarta cenderung untuk menghilangkan keistimewaan Yogyakarta dan menggantinya dengan keistimewaan yang baru. Keistimewaan tersebut dapat mengakibatkan Daerah Istimewa Yogyakarta kembali seperti pada zaman Belanda karena sistem pemerintahan Yogyakarta seperti pada zaman dahulu. Jika RUUK tersebut disahkan akan menimbulkan polemik berkepanjangan dan mengancam kelangsungan NKRI.
Jilka dilihat dari isinya, RUUK ini cenderung mengakibatkan dualisme kekuasaan antara gubernur utama dan wakil gubernur utama dengan gubernur dan wakil gubernur. Keberadaan gubernur utama akan menciptakan dualisme yang secara sistematis dan akan melanggar prinsip negara hukum. Selain itu, gubernur utama dan wakil gubernur utama juga sebagai pengganti parardhya secara filosofis bertentangan dengan ruh keistimewaan DIY, karena ketika berintegrasi dengan Republik Indonesia, raja yang berkuasa saat itu menjelma menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan sebutan Gubernur dan Wakil Gubernur. Dengan menggiring raja menjadi gubernur utama, maka akan mempersempit ruang kekuasaan raja. Dalam draf tersebut juga disebutkan bawa DIY dalam undang-undang disebut sebagai daerah yang setingkat provinsi. Kata “setingkat” dapat menyebabkan multitafsir. Batas wilayah dalam draft RUUK, juga kurang sesuai. Dalam RUUK disebutkan bahwa batas timur DIY adalah dengan Kabupaten Klaten. Namun secara geografis juga berbatasan dengan Kabupaten Sukohardjo dan Kabupaten Wonogiri. Draft RUUK juga hanya akan membuat banyak tanah di DIY tidak bertuan. RUUK juga dapat mengancam keberadaan kesultanan dan berbahaya bagi eksistensi DIY karena memasukan stuktur baru dalam pemerintahan Yogyakarta, seperti jabatan gubernur utama dan wakil gubernur utama.
Sebenarnya masalah keistimewaan Yogyakarta tidak perlu terjadi. Seandainya pemerintah tidak salah mengartikan masalah keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta yang berupa penetapan gubernur bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Hal itu dikarenakan keistimewaan tersebut bersumber dari nilai tradisi, sejarah dan budaya yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Namun keisitimewaaan tersebut disalah artikan oleh pemerintah, pemerintah menganggap keisitimewaan tersebut sebagai suatu arti politis atau monarki (sistem kerajaan). Sistem monarki tersebut sangatlah bertentangan dengan sistem demokrasi yang dianut di Negera Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk menghapus keistimewaan tersebut dengan melakukan pilkada. Walaupun di Yogyakarta pemilihan gubernur dilakukan dengan cara penetapan, pemilihan DPRD di Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan dengan pemilihan umum. Jadi DIY tidak layak disebut penganut sistem monarki absolut, karena demokrasi masih hidup di sana.
Untuk menghindari kesalahan yang sama, RUUK Yogyakarta harus dibuat dengan cara referendum (jajak pendapat). Referendum adalah solusi paling mungkin dilakukan untuk menyelesaikan kisruh dengan pemerintah pusat mengenai cara penentuan gubernur dan wakilnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana keistimewaan Yogyakarta tidak secara sistematis dihabisi oleh Pemerintah karena masyarakat memiliki wewenang penuh menentukan masa depan daerahnya. Apapun hasil referendum nantinya, pemerintah pusat hendaknya bersikap bijaksana dan tidak perlu merasa kehilangan muka jika hasil akhirnya ternyata berbeda dengan keinginan politik yang ada. Untuk itu pemerintah dalam menyusun rancangan undang undang (RUU) tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus optimistis bisa menemukan satu kerangka yang bisa menghadirkan sistem nasional atau keutuhan NKRI.
Pengukuhan dan pelestarian Keistimewaan Yogyakarta diperlukan untuk mendapatkan jaminan RUUK DIY, tidak saja berdasarkan pada landasan filosofis historis, sosiologis, dan yuridiskonstitusional, melainkan juga didasarkan fakta politis dan empiris yang tidak mudah dihapus zaman. Selain itu, dengan mengedepankan perbandingan sistem monarki konstitusional tampak semakin menguatkan eksistensi keistimewaan DIY yang unik dan berbeda dari sistem negara monarki seperti Belanda, Inggris, Thailand dan Malaysia. Keistimewaan DIY yang hanya satu dalam NKRI tidak saja merupakan keniscayaan sejarah dan konstitusi melainkan fakta sosiologis yang sampai sekarang masih didukung khususnya masyarakat Yogyakarta dan umumnya masyarakat Indonesia.
DPR harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat Yogyakarta, sehingga perubahan atas RUUK tersebut betul-betul bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan penyempurnaan RUUK Keistimewaan Yogyakarta, agar lahirnya kepastian hukum bagi proses suksesi kepemimpinan di DIY yang berkesesuaian dengan karakter budaya dan politik. Pembentukan Yogyakarta yang demokratis selain dapat menegasikan usulan model pemilihan kepala daerah di DIY yang tidak sesuai dengan semangat masyarakat Yogyakarta.
Perubahan dan penyempurnaan atas RUUK Yogyakarta harus dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan komprehensif terpadu, yaitu penambahan atas pasal-pasal tanpa merubah status dan kerangka awalnya dari RUUK DIY merupakan pilihan yang moderat mengingat keasliannya akan tetap terjaga dan RUUK ini juga tidak mengandung unsur pembatalan pada norma-norma hukum sebelumnya. Dengan itu, kita memperoleh masukan-masukan yang positif, sehingga kelemahan-kelemahan dalam RUUK DIY dapat diminimalisir.
0 comments:
Posting Komentar