Ngarsa
Dalem (yang dipakai juga sebagai gelar para raja/Sultan Yogyakarta) dimaknai
adalah Ingsun Pribadi. Hal demikian menukik pada pengertian aku yang
tersembunyi, aku yang sendirian, aku yang satu, aku yang sepi dari yang lain. Yang
oleh karenanya, tiada satu pun mampu menemukanku (apalagi melihat dan
menyentuhku maupun menyerupaiku). Aku yang tiada yang lain semata aku, aku yang
tiada yang terasakan selain aku. Allah berfirman: ”Kuntu Kanzan Makhfiyyan”
yang artinya adalah ”Semula Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi.” Pada
galibnya pemimpin yang bisa mencapai apa yang disebut ngarsa dalem tentulah
harus melakukan khalwat terlebih dulu. Jika ia bisa berbuat demikian ia pasti
akan mendahulukan kepentingan rakyat. Baru jika ada sisa, baru dirinya dan
keluarganya. Pemimpin sekarang sulit melakukan hal demikian karena kepentingan
dalam dirinya sehingga melupakan kepentingan bangsa dan negara. Nabi Muhammad
SAW merupakan nabi yang berhasil hijrah bersama umatnya dari Mekkah ke Madinah.
Di sisi lain, Nabi Musa dan Nabi Daud tidak. Hal demikian terjadi karena Nabi
Muhammad SAW memiliki keikhlasan hati serta berorientasi pada prestasi kerja
demi umatnya. Pemimpin adalah pelayan umat/masyarakatnya sendiri. Di Jawa hal
demikian dicontohkan melalui apa yang disebut dengan Astabrata. Pemimpin yang
dapat melaksanakan apa yang terkandung dalam Astabrata adalah pemimpin yang
sejalan dengan ajaran Islam juga. Secara substansial amat sulit menyatukan sufi
dan kepemimpinan (kekuasaan). Karena pada intinya dunia sufistik selalu
berusaha menjauhkan diri dari keterikatakan kekuasaan dan harta. Akan tetapi
kalau kepemimpinan tersebut menjadi pemeran seperti apa yang dimaksud dalam
Ngarsa Dalem. Yang dikedepankan nilai-nilai kepemimpinan tanpa mahkota, dia
tidak akan terikat pada struktur-struktur kekuasaan. Makna Ngarsa Dalem adalah
suatu keadaan di mana kita tidak punya apa-apa yang ada hanyalah Allah. Ngarsa
Dalem adalah sepi, tak ada rasa selain rasa yang aku rasakan. Tak ada yang bisa
membuat diri kita seperti itu kecuali Allah sendiri. Rasa demikian menjadi
semakin tebal justru ketika si manusia mjadi pemimpin karena ia punya kesadaran
tinggi terhadap Ngarsa Dalem tersebut. Ia merasa bahwa dirinya tidak mungkin
jadi pemimpin jika tidak karena karunia dari Allah. Tanpa peran Allah apa
artinya manusia itu. Ketakwaan transendental & kesalehan sosial dapat
dicapai oleh para pemimpin seperti Nabi Muhammad SAW dan para sahabat nabi
sendiri. Hal-hal demikian perlu kita upayakan bersama yang dengan ridha Allah
semuanya itu bisa diraih.
0 comments:
Posting Komentar